Minggu, 18 November 2012

FILOLOGI (Metode Naskah Jamak)

 Metode  naskah  jamak  adalah  metode  kritik  teks  yang  menggunakan
beberapa  naskah  varian.  Metode  ini  dilakukan  ketika  naskah  ditemukan  tidak
hanya  satu,  tetapi  dilakukan  terhadap  naskah  yang  jumlahnya  lebih  dari  satu
naskah  yang  ditemukan.  Metode  naskah  jamak  dapat  dilakukan  dengan  empat metode,  yaitu  metode  landasan,  metode  gabungan,  metode  objektif/stema,  dan metode intuitif.
-          Metode Intuitif
Dalam konteks sejarah suatu teks, besar kemungkinan mengalami penyalinan yang berulang kali dan hal itu menyebabkan terjadi beberapa naskah yang beraneka ragam. Di Eropa Barat untuk mengetahui bentuk asli karya-karya mengambil suatu naskah yang dipandang baik dan dianggap yang paling tua lalu disalin lagi. Dalam penyalinan itu ditempat-tempat yang tidak jelas atau diperkirakan terdapat naskah itu dibetulkan berdasarkan naskah lain dengan pertimbangan akal sehat, selera baik, dan pengetahuan luas di bidang bahasa maupun disiplin ilmu yang menjadi pokok bahasan naskah tersebut. Metode ini bertahan sampai abad ke-19, sebelum munculnya metode objektif.[1]  Menurut  Sudardi  (2001:27),  metode  intuitif  ialah  penyuntingan  yang dilakukan  dengan  cara  mengambil  salah  satu  naskah  yang  terbaik  isinya, kemudian  disalin.  Bagian-bagian  yang  menurut  penyalin  dianggap  kurang  baik  diperbaiki  dengan  intuisi  yang  didasarkan  pada  akal  sehat,  pengetahuan  yang  luas, dan selera baik. Metode intuitif termasuk metode nonilmiah.
Dari  kedua  penjelasan  di atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  metode  intuitif yaitu  salah  satu  metode  penelitian  naskah  yang  berdasarkan  pengetahuan sendiri,  dengan  cara  mengambil  naskah  yang  dianggap  paling  tua,  teks  yang  dipandang tidak betul atau tidak dijelas diperbaiki berdasarkan  naskah lain yang isinya  sama  juga  berdasarkan  akal  sehat  dan  pengetahuan  dari  penelitinya. Untuk  menggunakan  metode  ini  diperlukan  pengetahuan  yang  luas  mengenai kehidupan  pada  masa  naskah  itu  ditulis,  terutama  pengetahuan  mengenai bahasa, sastra, dan ilmu lain yang mempengaruhi kehidupan naskah tersebut.
Berdasarkan  hal  tersebut,  secara  ringkas  metode  intuitif  bekerja  dalam lingkup:
a)    Peneliti  (filolog)  bekerja  menentukan  teks  yang  dianggap  paling  tua,  paling  baik, dan paling mudah dibaca.
b)    Tempat-tempat  yang  mengalami  perubahan,  atau  dipandang  tidak  jelas  diperbaiki berdasarkan  naskah  lain  dengan  memakai  akal  sehat,  selera baik, dan pengetahuan luas.
c)    Metode  ini  hanya  bisa  dilakukan  oleh  peneliti  yang  sudah  sangat berpengalaman.
d)    Digunakan sampai pada abad kesembilan belas.
e)    Pada  saat  ini  metode  ini  sudah  tidak  dapat  digunakan  lagi,  tetapi  beberapa bagiannya  seperti  pada  penentuan  teks  yang  paling  baik  bisa  dilanjutkan dengan metode landasan.[2]

-          Metode Objektif
Metode ini bertujuan mendekati teks asli melalui data-data naskah dengan memakai perbandingan teks. Teorinya menurut West, bahwa naskah disalin satu demi satu kesalahan yang pernah terjadi dalam naskah berikutnya dalam tradisi, akan terus diturunkan ke naskah berikutnya (turun temurun). Metode ini dikembangkan di Eropa pada tahun 1930-an oleh “Lachmann”. Kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam proses penyalinan dari satu teks ke teks yang lain dapat dipakai untuk menunjukkan perbedaan dan kesamaan antara naskah.[3]
Menurut  Sudardi,  metode  objektif  adalah  metode  yang berusaha  menyusun  kekerabatan  suatu  naskah  berdasarkan  adanya  kesalahan bersama.  Naskah-naskah  yang  mempunyai  kesalahan  yang  sama  pada  suatu tempat  yang  sama,  maka  diperkirakan  bahwa  naskah-naskah  tersebut  berasal dari  induk  yang  sama.  Dengan  cara  tersebut,  maka  tersusunlah  suatu  silsilah naskah  (stema).  Berdasarkan  silsilah  tersebut  maka  teks  asal  direkontruksi melalui  kritik  teks.  Selanjutnya  menurut  Lubis,  metode  ini  bertujuan mendekati  teks  asli  melalui  data-data  naskah  dengan  memakai  perbandingan teks.
Dapat disimpulkan bahwa metode objektif yaitu meneliti secara sistematis hubungan  kekeluargaan  naskah-naskah  sebuah  teks  atas  dasar  perbandingan naskah  yang  mengandung  kekhilafan  bersama.  Dengan  metode  ini,  kita  dapat mengetahui  hubungan  kekerabatan  anatara  satu  naskah  dengan  naskah  yang lainnya  (silsilah  naskah).  Penentuan  kekerabatan  naskah  dapat  dilihat  dari jumlah  perbedaan  dan  persamaan  kesalahan  yang  terdapat  dalam  teks  naskah tersebut.  Semakin  banyak  perbedaan  di  antara  naskah  tersebut  maka  semakin
jauh  hubungan  kekerabatannya,  sedangkan  apabila  persamaannya  lebih  banyak maka naskah-naskah itu sekerabat bahkan mungkin berasal dari satu sumber.

-          Metode Gabungan
Metode gabungan dipakai apabila menurut tafsiran nilai naskah semuanya hampir sama, yang satu tidak lebih baik dari pada yang lain. Sebagian besar bacaan naskah sama saja. Pada umumnya bacaan yang dipilih dalam suntingan ini adalah bacaan mayoritas karena berdasarkan pertimbangan umum bahwa jumlah naskah yang banyak itu merupakan saksi bacaan yang betul. Kelemahan menggunakan metode ini adalah teks yang disajikan merupakan teks baru yang menggabungkan bacaan dari semua naskah yang ada sehingga dari segi ilmiah agak sukar dipertanggungjawabkan. Dari segi praktis, khususnya dari segi pemahaman, suntingan teks gabungan ini lebih mudah dipahami dan lebih lengkap dari semua naskah yang ada.[4]
Dengan  kata  lain,  metode  gabungan  adalah  salah  satu  metode
penyuntingan naskah banyak yang menggunakan semua naskah yang ditemukan, dengan  cara  dibanding-bandingkan.  Kesalahan-kesalahan  yang  terdapat  dalam teks naskah dibetulkan dengan cara memilih teks yang paling banyak (mayoritas) atau  dengan  cara   vootting .  Dengan  metode  ini  akan  didapatkan  sebuah  naskah baru  (edisi)  yang  merupakan  hasil  turunan  dari  beberapa  naskah  setelah diadakan pembetulan dengan cara seleksi penggabungan atau mengambil bacaan
yang paling banyak (bacaan mayoritas).
Berdasarkan  hal  tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa  metode  gabungan
bekerja berdasarkan adanya:
a)    Penyuntingan  didasarkan  atas  adanya  kesamaan  bacaan  di  sebagaian  besar naskah yang ditemukan.
b)    Jika  ada  bacaan  yang  meragukan  yang  dijumpai  pada  mayoritas  naskah digunakan  penyesuaian  dengan  norma  tatabahasa,  jenis  sastra,  keutuhan cerita, faktor-faktor literer lain, dan latar belakang pada umumnya.
c)    Hasil  suntingan  merupakan  gabungan  bacaan  dari  semua  naskah  yang  ada dan dapat  dikataan  sebagai teks baru
d)    Hasil teks suntingan juga tidak  dapat menggambarkan sejarah teks dan tidak dapat meletakkan silsilah atau kekerabatan beberapa naskah yang ditemukan.

-          Metode Landasan
Metode ini diterapkan apabila menurut tafsiran ada satu atau segolongan naskah  yang  unggul  kualitasnya  dibandingkan  dengan  naskah-naskah  yang diperiksa  dari  sudut  bahasa,  kesastraan,  sejarah,   dan  lain  sebagainya  sehingga dapat  dinyatakan  sebagai naskah  yang  mengandung paling  banyak  bacaan  yang baik.Oleh karena itu, naskah ini dipandang paling baik untuk dijadikan landasan atau  induk  teks  untuk  edisi.  Metode  ini  disebut  juga      metode  induk   atau  metode legger   (landasan).  Varian-variannya  hanya  dipakai  sebagai  pelengkap  atau penunjang.  Seperti  halnya  pada  metode  yang  berdasarkan  bacaan  mayoritas, pada metode  landasan ini pun varian-varian yang terdapat dalam naskah-naskah lain seversi dimuat dalam  aparat kritik, yaitu bahan pembanding yang menyertai penyajian suatu naskah. Menurut Sudardi, metode landasan ialah penyuntingan dengan mengambil  satu  naskah  yang  dianggap  paling  baik  kualitasnya.  Naskah  yang dianggap paling baik diambil sebagai dasar  suntingan, sementara naskah-naskah lainnya  hanya  sebagai  penunjang  bila  ada hal-hal  yang  meragukan.  Selanjutnya menurut  Lubis,  hal  ini  diketahui  bila  diadakan  penelitian  yang cermat  terhadap  bahasa,  kesastraan,  sejarah,  dan  segala  hal  tentang  teks, sehingga  dapat  dikatakan  bahwa  teks  satu  lebih  unggul  dibanding  teks  yang lainnya.  Karena  itu,  teks  yang  dinyatakan  memiliki  bacaan yang  paling  baik  itu, dijadikan dasar untuk edisi atau penyuntingan  naskah. Pemilihan dan penentuan naskah  yang  mengandung  bacaan  yang  baik  dilakukan  berdasarkan  berbagai kriteria,  antara  lain  usia  naskah.  Bila  terdapat  naskah  tertua,  perlu  mendapat perhatian, perhitungan, dan diprioritaskan, akan tetapi tidak harus selalu naskah tertua  yang  dipilih.  Perlu  juga  diperhitungkan  aspek-aspek  penampilan  dari berbagai  segi  baik  bahasa,  kejelasannya  (tidak  terdapat  kerusakan  yang mengganggu bacaannya), dan kelengkapan informasi yang dikandungnya, seperti keterangan nama pengarang, tempat dan tanggal penulisannya.
Metode  landasan  dipakai  apabila  menurut  nafsiran  nilai  naskah  jelas
berbeda sehingga  ada satu  atau  sekelompok  naskah  yang  menonjol  kualitasnya. Kalau semua uraian sudah diperiksa dari sudut bahasa, sastra, sejarah, atau yang lain, naskah yang mempunyai bacaan yang baik dengan jumlah yang besar, dapat dianggap  naskah  yang  terbaik  dan  dapat  dijadikan  landasan  atau  teks  dasar (Robson,  1978:36).  Djamaris  (2002:26),  menjelaskan  tujuan  penyuntingan  teks dengan  metode  landasan  adalah  untuk  mendapatkan  teks  yang  autoritatif  dan untuk  membebaskan  teks  itu  dari  segala  macam  kesalahan  yang  terjadi  pada waktu penyalinannya sehingga teks itu dapat dipahami sebaik-baiknya. Cara yang dapat  ditempuh  untuk  mencapai  tujuan  itu  adalah  membetulkan  segala  macam kesalahan,  mengganti  bacaan  yang  tidak  sesuai;  menambah  bacaan  yang ketinggalan dan mengurangi bacaan yang kelebihan.
Berdasarkan  hal  tersebut,  dapat  disimpulkan  bahwa  metode  landasan
yaitu metode  untuk  meneliti naskah  dengan  cara  mengambil naskah  yang  lebih
berkualitas dan menyangkut hal berikut:  
a)    Naskah  diteliti  untuk  menentukan  naskah  yang  paling  baik  dengan melakukan penelitian terhadap kebahasaan, kesastraan, sejarah dan lain-lain. 
b)    Naskah  yang  telah  dianggap  paling  baik  setelah  melalui beberapa  penelitian dijadikan landasan atau induk teks untuk penerbitan.
c)    Varian-varian  yang  terdapat  pada  naskah  yang  seversi  dimuat  dalam  aparat kritik, yaitu perangkat pembanding yang menyertai penyajian suatu naskah.
Metode  ini  diterapkan  apabila  menurut  tafsiran  filologi  ada  satu  atau
segolongan naskah yang unggul kualitasnya dibandingkan dengan naskah-naskah yang  diperiksa  dari  sudut  bahasa,  kesastraan,  sejarah,  dan  lain  sebagainya,
sehingga  dapat  dinyatakan  sebagai  naskah  yang  mengandung  paling  banyak
bacaan  yang  baik.  Naskah  sebagai  landasan  dapat  dipilih  dengan  beberapa
kriteria  terutama  umur  dan  keadaan  fisik  naskah,  tulisannya  jelas  dan  dapat
dibaca, keadaannya baik tidak banyak kerusakkan (korup).

Rekonstruksi Teks dan Susunan Stema
Langkah berikutnya dalam kajian filologi atau terakhir adalah merekonstruksi teks yang telah dilakukan langkah-langkah sebelumnya. Tujuan dilakukannya rekonstruksi teks adalah untuk mengetahui kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam naskah-naskah yang ada dengan cara melihat apa yang ada dalam naskah lainnya. Akan tetapi, karena hasil penelusuran yang penulis lakukan hanya menemukan dua naskah saja maka hal ini sulit dilakukan.
Namun demikian, penulis dapat berkesimpulan bahwa naskah A merupakan naskah asli ”Hikayat Muhammad Hanafiyah” atau lebih tepatnya terjemahan Bahasa Inggris dari hikayat Melayu klasik ini. Hal ini berdasarkan beberapa faktor, yaitu naskah B merupakan ringkasan dari ”Hikayat Muhammad Hanafiyah” yang ada dalam naskah A dan tidak ditemukan perbedaan di dalam keduanya sedangkan yang kedua adalah naskah A merupakan buku yang telah sangat lama menjadi rujukan dalam penelitian sastra Melayu klasik. Di samping itu, pengarang naskah A merupakan tokoh yang diakui kapabilitas dan kapasitasnya dalam jagat penelitian filologi.
Untuk melakukan stema, naskah-naskah yang ada diberi nama dengan hurup besar latin : A, B, C, D dan seterusnya. Archetype adalah teks asli naskah-naskah pertama yang dapat dipandang sebagai pembagi persekutuan terbesar dari sumber-sumber tersimpan. Untuk penyusunan stema, naskah-naskah yang ada diberi nama dengan huruf-huruf besar Yunani (“omega”) sedangkan bagi hiperketip dan arketip diberi nama dengan huruf “alfa”. Dalam kenyataannya, setiap contoh salinan terdapat beberapa kesalahan, kekeliruan, atau tambahan, dan juga berbagai macam perbedaan. Tujuan membangun stema adalah untuk memperkecil jumlah varian dengan menunjukkan bahwa naskah-naskah asli dan setiap satu naskah tidak diwariskan dari tradisi yang lebih tua. Dengan cara demikian itu kita dapat mencapai tujuan yang diinginkan, stema apapun yang dibangun terhadap naskah-naskah untuk mengetahui sejauh mana hubungan kekerabatan antara berbagai naskah itu adalah besar besar kemungkinan akan menunjukkan penyederhanaan yang berlebihan daripada kenyataan dalam sejarah, atau dari jumlah sebesarnya yang telah dihasilkan untuk teks yang sama.
Meskipun demikian, metode stema dapat diterapakan kepada beberapa naskah, antara lain : Hikayat Muhammad Hanafiyyah oleh F. L. Brakel (1977), Hikayat Bandjar oleh J. Rass (1988), Adat Raja-raja Melayu oleh Panuti Sudjiman, (1979), Undang-undang Malaka, oleh Liaw Yock Fang (1976), dan Arjunawijaya, oleh Supomo (1977).



Edisi teks dan Aparat Kritik
Edisi teks atau sering dikenal dengan istilah suntingan teks adalah (upaya) menyusun suatu teks secara utuh setelahdilakukan pemurnian teks ke dalam sesuatu bahasa.
Pemurnianteks adalah upaya untuk menentukan salah satu teks yang akandipakai sebagai dasar transliterasi naskah berdasarkan penelitianteks dengan suatu metode kritik teks.

Metode kritik teks meliputi perbandingan naskah untuk mengelompokkan varian-varian yangada dan merekonstruksi garis penurunan naskah (stema). Jadi menyunting teks bukansekedar memilih salah satu naskah untuk ditransliterasi, tetapi pilihan itu harus didasarkan pada penelitian yang seksama.  Langkah awal dari suatu penelitian teks adalahmenginventarisasi naskah yang langkah kerja ini akan terrealisasi pada deskripsi naskah dan aparat kritik. Adapun Inventarisasinaskah dapat dilakukan setelah diketahui sejumlah naskah yangdimaksud dalam suatu katalog naskah. Upaya memperolehnaskah kecuali dapat dilakukan dengan perunutan ke dalamkatalogus naskah dapat juga ke suatu badan atau perorangan yang diketahui memiliki naskah tersebut. Pelacakan naskah itu harus dilakukan secarainternasional, artinya peneliti harus dapat melacak semua naskahyang ada di dunia berdasar sumber-sumber yang layak, misalkatalogus naskah, journal, dan penerbitan-penerbitan yang ada.Prof. Dr. Sulastin Sutrisno *) pernah mengatakan bahwa padasuatu ujian desertasi tentang Filologi, tiba-tiba saat dilakukan ujian itu baru diketahui ada satu naskah yang belum disebutkan dalam penelitian itu, padahal naskah itu berada di Perancis, makaujian itu ditunda dan promovendus yang bersangkutan harus melacak naskah itu ke Perancis. Hal ini merupakan satu contoh bahwa menyunting naskah itu memerlukan suatu penelitian yangseksama dengan data yang lengkap, bukan asal menyuntingsembarangan teks dengan asal melakukan suatu transliterasiterhadap teks. Suatu hal yang kadangkala menimbulkan salahsangka orang adalah adanya salah pengertian tentang istilah
Suntingan Naskah atau Edisi Naskah sebagian orangmenganggap bahwa menyunting atau mengedit itu bukan sebagaisuatu penelitian, anggapan ini tidak dapat dibenarkan. Karena penyuntingan naskah di dalam bidang filologi harus didasarkansuatu penelitian yang menggunakan metode kritik teks.Pentransliterasian naskah yang tidak melalui suatu edisikritis terdapat banyak kelemahan. Karena besar sekali kemungkinannya keutuhan atau kemurnian teks itu tidak dapatdibuktikan secara ilmiah, yang berarti kesahihan teks dapatdiragukan. Oleh sebab itu setiap kajian teks harus didahului olehsuatu edisi kritis. Masalah ini kelihatannya hanya sederhana,tetapi sering dilupakan oleh ilmuwan lain yang mengambil objek kajian berupa teks, padahal teks yang belum digarap secarafilologis masih terdapat kelemahan, misalnya salah tulis, kurang lengkap isinya dan sebagainya.


[1] Prof. Dr. Nabilah Lubis, MA. Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi. Hal 84
[2] Tedi Permadi. Cara Kerja Suntingan Teks yang Disajikan J.J Rass dalam Mengedisi Naskah Hikayat Banjar
[3] Prof. Dr. Nabilah Lubis, MA. Naskah Teks dan Metode Penelitian Filologi. (Yayasan Media Alo Indonesia, Jakarta. 2001). Hal 84-85
[4] Dr. H. Edwar Djamaris. Metode Penelitian Filologi. (CV Manasco, Jakarta. 2002), hal 25-26