Metode naskah
jamak adalah metode
kritik teks yang
menggunakan
beberapa naskah
varian. Metode ini
dilakukan ketika naskah
ditemukan tidak
hanya satu,
tetapi dilakukan terhadap
naskah yang jumlahnya
lebih dari satu
naskah yang
ditemukan. Metode naskah
jamak dapat dilakukan
dengan empat metode, yaitu
metode landasan, metode
gabungan, metode objektif/stema, dan metode intuitif.
-
Metode Intuitif
Dalam konteks sejarah suatu teks,
besar kemungkinan mengalami penyalinan yang berulang kali dan hal itu
menyebabkan terjadi beberapa naskah yang beraneka ragam. Di Eropa Barat untuk
mengetahui bentuk asli karya-karya mengambil suatu naskah yang dipandang baik
dan dianggap yang paling tua lalu disalin lagi. Dalam penyalinan itu
ditempat-tempat yang tidak jelas atau diperkirakan terdapat naskah itu
dibetulkan berdasarkan naskah lain dengan pertimbangan akal sehat, selera baik,
dan pengetahuan luas di bidang bahasa maupun disiplin ilmu yang menjadi pokok
bahasan naskah tersebut. Metode ini bertahan sampai abad ke-19, sebelum
munculnya metode objektif.[1]
Menurut Sudardi (2001:27),
metode intuitif ialah
penyuntingan yang dilakukan dengan
cara mengambil salah
satu naskah yang
terbaik isinya, kemudian disalin.
Bagian-bagian yang menurut
penyalin dianggap kurang
baik diperbaiki dengan
intuisi yang didasarkan
pada akal sehat,
pengetahuan yang luas,
dan selera baik. Metode intuitif termasuk metode nonilmiah.
Dari kedua
penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa metode
intuitif yaitu salah satu
metode penelitian naskah
yang berdasarkan pengetahuan sendiri, dengan
cara mengambil naskah
yang dianggap paling
tua, teks yang dipandang
tidak betul atau tidak dijelas diperbaiki berdasarkan naskah lain yang isinya sama
juga berdasarkan akal
sehat dan pengetahuan
dari penelitinya. Untuk menggunakan
metode ini diperlukan
pengetahuan yang luas
mengenai kehidupan pada masa
naskah itu ditulis,
terutama pengetahuan mengenai bahasa, sastra, dan ilmu lain yang
mempengaruhi kehidupan naskah tersebut.
Berdasarkan hal
tersebut, secara ringkas
metode intuitif bekerja
dalam lingkup:
a) Peneliti
(filolog) bekerja menentukan
teks yang dianggap
paling tua, paling baik,
dan paling mudah dibaca.
b) Tempat-tempat yang mengalami
perubahan, atau dipandang
tidak jelas
diperbaiki berdasarkan
naskah lain dengan
memakai akal sehat,
selera baik, dan pengetahuan luas.
c) Metode
ini hanya bisa
dilakukan oleh peneliti
yang sudah sangat berpengalaman.
d) Digunakan sampai pada abad kesembilan
belas.
e) Pada
saat ini metode
ini sudah tidak
dapat digunakan lagi,
tetapi beberapa bagiannya seperti
pada penentuan teks
yang paling baik
bisa dilanjutkan dengan metode
landasan.[2]
-
Metode Objektif
Metode
ini bertujuan mendekati teks asli melalui data-data naskah dengan memakai
perbandingan teks. Teorinya menurut West, bahwa naskah disalin satu demi satu
kesalahan yang pernah terjadi dalam naskah berikutnya dalam tradisi, akan terus
diturunkan ke naskah berikutnya (turun temurun). Metode ini dikembangkan di
Eropa pada tahun 1930-an oleh “Lachmann”.
Kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam proses penyalinan dari satu teks ke
teks yang lain dapat dipakai untuk menunjukkan perbedaan dan kesamaan antara
naskah.[3]
Menurut Sudardi,
metode objektif adalah
metode yang berusaha menyusun
kekerabatan suatu naskah
berdasarkan adanya kesalahan bersama. Naskah-naskah
yang mempunyai kesalahan
yang sama pada
suatu tempat yang sama,
maka diperkirakan bahwa
naskah-naskah tersebut berasal dari
induk yang sama.
Dengan cara tersebut,
maka tersusunlah suatu
silsilah naskah (stema). Berdasarkan
silsilah tersebut maka
teks asal direkontruksi melalui kritik
teks. Selanjutnya menurut
Lubis, metode ini
bertujuan mendekati teks asli
melalui data-data naskah
dengan memakai perbandingan teks.
Dapat
disimpulkan bahwa metode objektif yaitu meneliti secara sistematis
hubungan kekeluargaan naskah-naskah
sebuah teks atas
dasar perbandingan naskah yang
mengandung kekhilafan bersama.
Dengan metode ini,
kita dapat mengetahui hubungan
kekerabatan anatara satu
naskah dengan naskah
yang lainnya (silsilah naskah).
Penentuan kekerabatan naskah
dapat dilihat dari jumlah
perbedaan dan persamaan
kesalahan yang terdapat
dalam teks naskah tersebut. Semakin
banyak perbedaan di
antara naskah tersebut
maka semakin
jauh hubungan
kekerabatannya, sedangkan apabila
persamaannya lebih banyak maka naskah-naskah itu sekerabat
bahkan mungkin berasal dari satu sumber.
-
Metode Gabungan
Metode
gabungan dipakai apabila menurut tafsiran nilai naskah semuanya hampir sama,
yang satu tidak lebih baik dari pada yang lain. Sebagian besar bacaan naskah
sama saja. Pada umumnya bacaan yang dipilih dalam suntingan ini adalah bacaan
mayoritas karena berdasarkan pertimbangan umum bahwa jumlah naskah yang banyak
itu merupakan saksi bacaan yang betul. Kelemahan menggunakan metode ini adalah
teks yang disajikan merupakan teks baru yang menggabungkan bacaan dari semua
naskah yang ada sehingga dari segi ilmiah agak sukar dipertanggungjawabkan.
Dari segi praktis, khususnya dari segi pemahaman, suntingan teks gabungan ini
lebih mudah dipahami dan lebih lengkap dari semua naskah yang ada.[4]
Dengan
kata lain, metode
gabungan adalah salah
satu metode
penyuntingan
naskah banyak yang menggunakan semua naskah yang ditemukan, dengan cara
dibanding-bandingkan.
Kesalahan-kesalahan yang terdapat
dalam teks naskah dibetulkan dengan cara memilih teks yang paling banyak
(mayoritas) atau dengan cara vootting . Dengan
metode ini akan
didapatkan sebuah naskah baru
(edisi) yang merupakan
hasil turunan dari
beberapa naskah setelah diadakan pembetulan dengan cara
seleksi penggabungan atau mengambil bacaan
yang
paling banyak (bacaan mayoritas).
Berdasarkan hal
tersebut dapat disimpulkan
bahwa metode gabungan
bekerja
berdasarkan adanya:
a) Penyuntingan didasarkan
atas adanya kesamaan
bacaan di sebagaian
besar naskah yang ditemukan.
b) Jika
ada bacaan yang
meragukan yang dijumpai
pada mayoritas naskah digunakan penyesuaian
dengan norma tatabahasa,
jenis sastra, keutuhan cerita, faktor-faktor literer lain,
dan latar belakang pada umumnya.
c) Hasil
suntingan merupakan gabungan
bacaan dari semua
naskah yang ada dan dapat
dikataan sebagai teks baru
d) Hasil teks suntingan juga tidak dapat menggambarkan sejarah teks dan tidak
dapat meletakkan silsilah atau kekerabatan beberapa naskah yang ditemukan.
-
Metode Landasan
Metode
ini diterapkan apabila menurut tafsiran ada satu atau segolongan naskah yang
unggul kualitasnya dibandingkan
dengan naskah-naskah yang diperiksa dari
sudut bahasa, kesastraan,
sejarah, dan lain
sebagainya sehingga dapat dinyatakan sebagai naskah
yang mengandung paling banyak
bacaan yang baik.Oleh karena itu,
naskah ini dipandang paling baik untuk dijadikan landasan atau induk
teks untuk edisi.
Metode ini disebut
juga metode induk atau metode legger (landasan).
Varian-variannya hanya dipakai
sebagai pelengkap atau penunjang. Seperti
halnya pada metode
yang berdasarkan bacaan
mayoritas, pada metode landasan
ini pun varian-varian yang terdapat dalam naskah-naskah lain seversi dimuat
dalam aparat kritik, yaitu bahan
pembanding yang menyertai penyajian suatu naskah. Menurut Sudardi, metode
landasan ialah penyuntingan dengan mengambil
satu naskah yang
dianggap paling baik
kualitasnya. Naskah yang dianggap paling baik diambil sebagai
dasar suntingan, sementara naskah-naskah
lainnya hanya sebagai
penunjang bila ada hal-hal
yang meragukan. Selanjutnya menurut Lubis,
hal ini diketahui
bila diadakan penelitian
yang cermat terhadap bahasa,
kesastraan, sejarah, dan
segala hal tentang
teks, sehingga dapat dikatakan
bahwa teks satu
lebih unggul dibanding
teks yang lainnya. Karena
itu, teks yang
dinyatakan memiliki bacaan yang
paling baik itu, dijadikan dasar untuk edisi atau
penyuntingan naskah. Pemilihan dan
penentuan naskah yang mengandung
bacaan yang baik
dilakukan berdasarkan berbagai kriteria, antara
lain usia naskah.
Bila terdapat naskah
tertua, perlu mendapat perhatian, perhitungan, dan
diprioritaskan, akan tetapi tidak harus selalu naskah tertua yang
dipilih. Perlu juga
diperhitungkan aspek-aspek penampilan
dari berbagai segi baik
bahasa, kejelasannya (tidak
terdapat kerusakan yang mengganggu bacaannya), dan kelengkapan
informasi yang dikandungnya, seperti keterangan nama pengarang, tempat dan
tanggal penulisannya.
Metode landasan
dipakai apabila menurut
nafsiran nilai naskah
jelas
berbeda
sehingga ada satu atau
sekelompok naskah yang
menonjol kualitasnya. Kalau semua
uraian sudah diperiksa dari sudut bahasa, sastra, sejarah, atau yang lain,
naskah yang mempunyai bacaan yang baik dengan jumlah yang besar, dapat
dianggap naskah yang
terbaik dan dapat
dijadikan landasan atau
teks dasar (Robson, 1978:36).
Djamaris (2002:26), menjelaskan
tujuan penyuntingan teks dengan
metode landasan adalah
untuk mendapatkan teks
yang autoritatif dan untuk
membebaskan teks itu
dari segala macam
kesalahan yang terjadi
pada waktu penyalinannya sehingga teks itu dapat dipahami sebaik-baiknya.
Cara yang dapat ditempuh untuk
mencapai tujuan itu
adalah membetulkan segala
macam kesalahan, mengganti bacaan
yang tidak sesuai;
menambah bacaan yang ketinggalan dan mengurangi bacaan yang
kelebihan.
Berdasarkan hal
tersebut, dapat disimpulkan
bahwa metode landasan
yaitu
metode untuk meneliti naskah dengan
cara mengambil naskah yang
lebih
berkualitas
dan menyangkut hal berikut:
a) Naskah
diteliti untuk menentukan
naskah yang paling
baik dengan melakukan penelitian
terhadap kebahasaan, kesastraan, sejarah dan lain-lain.
b) Naskah
yang telah dianggap
paling baik setelah
melalui beberapa penelitian
dijadikan landasan atau induk teks untuk penerbitan.
c) Varian-varian yang
terdapat pada naskah
yang seversi dimuat
dalam aparat kritik, yaitu
perangkat pembanding yang menyertai penyajian suatu naskah.
Metode ini
diterapkan apabila menurut
tafsiran filologi ada
satu atau
segolongan
naskah yang unggul kualitasnya dibandingkan dengan naskah-naskah yang diperiksa
dari sudut bahasa,
kesastraan, sejarah, dan
lain sebagainya,
sehingga dapat
dinyatakan sebagai naskah
yang mengandung paling
banyak
bacaan yang
baik. Naskah sebagai
landasan dapat dipilih
dengan beberapa
kriteria terutama
umur dan keadaan
fisik naskah, tulisannya
jelas dan dapat
dibaca,
keadaannya baik tidak banyak kerusakkan (korup).
Rekonstruksi
Teks dan Susunan Stema
Langkah
berikutnya dalam kajian filologi atau terakhir adalah merekonstruksi teks yang
telah dilakukan langkah-langkah sebelumnya. Tujuan dilakukannya rekonstruksi
teks adalah untuk mengetahui kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam
naskah-naskah yang ada dengan cara melihat apa yang ada dalam naskah lainnya.
Akan tetapi, karena hasil penelusuran yang penulis lakukan hanya menemukan dua
naskah saja maka hal ini sulit dilakukan.
Namun demikian, penulis dapat berkesimpulan bahwa naskah A merupakan naskah asli ”Hikayat Muhammad Hanafiyah” atau lebih tepatnya terjemahan Bahasa Inggris dari hikayat Melayu klasik ini. Hal ini berdasarkan beberapa faktor, yaitu naskah B merupakan ringkasan dari ”Hikayat Muhammad Hanafiyah” yang ada dalam naskah A dan tidak ditemukan perbedaan di dalam keduanya sedangkan yang kedua adalah naskah A merupakan buku yang telah sangat lama menjadi rujukan dalam penelitian sastra Melayu klasik. Di samping itu, pengarang naskah A merupakan tokoh yang diakui kapabilitas dan kapasitasnya dalam jagat penelitian filologi.
Namun demikian, penulis dapat berkesimpulan bahwa naskah A merupakan naskah asli ”Hikayat Muhammad Hanafiyah” atau lebih tepatnya terjemahan Bahasa Inggris dari hikayat Melayu klasik ini. Hal ini berdasarkan beberapa faktor, yaitu naskah B merupakan ringkasan dari ”Hikayat Muhammad Hanafiyah” yang ada dalam naskah A dan tidak ditemukan perbedaan di dalam keduanya sedangkan yang kedua adalah naskah A merupakan buku yang telah sangat lama menjadi rujukan dalam penelitian sastra Melayu klasik. Di samping itu, pengarang naskah A merupakan tokoh yang diakui kapabilitas dan kapasitasnya dalam jagat penelitian filologi.
Untuk melakukan
stema, naskah-naskah yang ada diberi nama dengan hurup besar latin : A, B, C, D
dan seterusnya. Archetype adalah teks asli naskah-naskah pertama yang dapat
dipandang sebagai pembagi persekutuan terbesar dari sumber-sumber tersimpan.
Untuk penyusunan stema, naskah-naskah yang ada diberi nama dengan huruf-huruf
besar Yunani (“omega”) sedangkan bagi hiperketip dan arketip diberi nama dengan
huruf “alfa”. Dalam kenyataannya, setiap contoh salinan terdapat beberapa kesalahan,
kekeliruan, atau tambahan, dan juga berbagai macam perbedaan. Tujuan membangun
stema adalah untuk memperkecil jumlah varian dengan menunjukkan bahwa
naskah-naskah asli dan setiap satu naskah tidak diwariskan dari tradisi yang
lebih tua. Dengan cara demikian itu kita dapat mencapai tujuan yang diinginkan,
stema apapun yang dibangun terhadap naskah-naskah untuk mengetahui sejauh mana
hubungan kekerabatan antara berbagai naskah itu adalah besar besar kemungkinan
akan menunjukkan penyederhanaan yang berlebihan daripada kenyataan dalam
sejarah, atau dari jumlah sebesarnya yang telah dihasilkan untuk teks yang
sama.
Meskipun
demikian, metode stema dapat diterapakan kepada beberapa naskah, antara lain : Hikayat Muhammad Hanafiyyah oleh F. L.
Brakel (1977), Hikayat Bandjar oleh
J. Rass (1988), Adat Raja-raja Melayu oleh
Panuti Sudjiman, (1979), Undang-undang
Malaka, oleh Liaw Yock Fang (1976), dan Arjunawijaya,
oleh Supomo (1977).
Edisi teks dan Aparat Kritik
Edisi teks atau sering
dikenal dengan istilah suntingan teks adalah
(upaya) menyusun suatu teks secara utuh setelahdilakukan pemurnian teks ke
dalam sesuatu bahasa.
Pemurnianteks
adalah upaya untuk menentukan salah satu
teks yang akandipakai sebagai dasar transliterasi naskah berdasarkan
penelitianteks dengan suatu metode kritik teks.
Metode kritik teks meliputi perbandingan
naskah untuk mengelompokkan varian-varian yangada
dan merekonstruksi garis penurunan naskah (stema). Jadi menyunting teks bukansekedar memilih salah satu naskah untuk
ditransliterasi, tetapi pilihan itu harus didasarkan pada
penelitian yang seksama. Langkah awal
dari suatu penelitian teks adalahmenginventarisasi naskah yang langkah
kerja ini akan terrealisasi pada
deskripsi naskah dan aparat kritik. Adapun Inventarisasinaskah dapat
dilakukan setelah diketahui sejumlah naskah yangdimaksud dalam suatu katalog naskah. Upaya memperolehnaskah kecuali
dapat dilakukan dengan perunutan ke dalamkatalogus naskah dapat juga ke
suatu badan atau perorangan yang diketahui
memiliki naskah tersebut. Pelacakan
naskah itu harus dilakukan secarainternasional, artinya peneliti harus
dapat melacak semua naskahyang ada di dunia
berdasar sumber-sumber yang layak, misalkatalogus naskah, journal, dan
penerbitan-penerbitan yang ada.Prof. Dr. Sulastin Sutrisno *) pernah mengatakan
bahwa padasuatu ujian desertasi tentang Filologi, tiba-tiba saat dilakukan ujian itu baru diketahui ada satu naskah yang
belum disebutkan dalam penelitian itu, padahal naskah itu berada di
Perancis, makaujian itu ditunda dan
promovendus yang bersangkutan harus melacak naskah itu ke Perancis. Hal ini
merupakan satu contoh bahwa menyunting naskah itu memerlukan suatu
penelitian yangseksama dengan data yang
lengkap, bukan asal menyuntingsembarangan
teks dengan asal melakukan suatu transliterasiterhadap teks. Suatu hal yang
kadangkala menimbulkan salahsangka orang adalah adanya salah pengertian tentang
istilah
Suntingan Naskah atau Edisi
Naskah sebagian orangmenganggap
bahwa menyunting atau mengedit itu bukan sebagaisuatu penelitian, anggapan ini tidak dapat dibenarkan.
Karena penyuntingan naskah di dalam bidang filologi harus didasarkansuatu
penelitian yang menggunakan metode kritik teks.Pentransliterasian naskah yang tidak melalui suatu edisikritis terdapat banyak kelemahan. Karena besar
sekali kemungkinannya keutuhan atau kemurnian teks itu
tidak dapatdibuktikan
secara ilmiah, yang berarti
kesahihan teks dapatdiragukan. Oleh sebab itu setiap kajian teks
harus didahului olehsuatu edisi kritis.
Masalah ini kelihatannya hanya sederhana,tetapi sering
dilupakan oleh ilmuwan lain yang mengambil objek kajian berupa teks, padahal
teks yang belum
digarap secarafilologis masih terdapat kelemahan, misalnya
salah tulis, kurang lengkap isinya dan
sebagainya.
[2] Tedi
Permadi. Cara Kerja Suntingan Teks yang
Disajikan J.J Rass dalam Mengedisi Naskah Hikayat Banjar
[3] Prof.
Dr. Nabilah Lubis, MA. Naskah Teks dan
Metode Penelitian Filologi. (Yayasan Media Alo Indonesia, Jakarta. 2001). Hal 84-85
[4] Dr.
H. Edwar Djamaris. Metode Penelitian
Filologi. (CV Manasco, Jakarta. 2002), hal 25-26