Sejak
zaman kerajaan Islam hingga zaman kolonial, selain sebagai agama populis, Islam
tidak pernah terpisahkan dari fenomena istana.
Kekuasaan politik sejak masuknya pengaruh Islam ke Nusantara bercirikan
keagamaan yang kuat. Akan tetapi, kontras dengan fenomena yang ditunjukkan oleh
kesultanan-kesultanan Islam itu, sejak masa kemerdekaan tahun 1945, politik
Islam Indonesia justru berada dalam posisi yang terbalik. Puncaknya adalah pada
masa pertengahan pertama panggung kekuasaan Orde Baru, umat Islam adalah
kelompok yang selalu termarginalisasikan secara politik. Selama 45 tahun
setelah kemerdekaan, kelompok Islam belum pernah berperan menjadi kekuatan yang
signifikan. Hal yang menyedihkan, akibat sekian lama terpinggirkan, perilaku
dan mentalitas kelompok Islam menjadi tipikal kelompok minoritas (Wertheim
1975; Schwartz 1997). Kelompok Islam nyaris tak berkutik di bawah penindasan
rezim Soekarno dan Soeharto.
Sebab Permusuhan
Salah satu
penyebab permusuhan adalah hubungan Islam dengan negara sekuler yang tidak
pernah mesra. Hal ini disebabkan karakter Islam sebagai kekuatan din wa
daulah (agama dan politik), yang memiliki aspirasi dan imajinasi politik
sendiri. Karakter ini membuat Islam tidak bisa menerima kontrol kekuasaan
negara sekuler atas dirinya, terutama bila kekuasaan itu tidak akomodatif
terhadap aspirasi politik Islam. Konflik ini selalu terbit yang menunjukkan tak
bisa dipisahkannya Islam dengan kekuasaan. Islam dan negara hanya akan berhenti
konflik apabila Islam telah menjadi bagian dari pengelola negara. Raja-raja
Jawa melihat komunitas Islam sebagai kekuatan sipil yang mengancam kekuasaan
dan kepentingan mereka. Selama kurun
Orde Baru, Soeharto melihat Islam tidak lebih sama dengan penguasa-penguasa
sebelumnya yang melihat agama sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Dari nilai
leluhur yang dianutnya ini, Hefner menyimpulkan bahwa Soeharto selama
kekuasaanya, pada dasarnya tidak menyukai Islam.
Represi Era Soekarno
Sikap permusuhan
negara terhadap Islam bisa dilacak dan diidentifikasi sejak awal kemerdekaan di
bawah Presiden Soekarno hingga era kekuasaan Soeharto. Hal yang pertama adalah
penolakan Piagam Djakarta 22 Juni 1945 yang berisi klausul: “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam penolakan
ini, konsep Presiden Soekarno tentang Pancasila, walaupun tahu bahwa agama
adalah pilar penting masyarakat, menolak posisi penting Islam dalam struktur
negara, sebagai telah diperjuangkan oleh kelompok Islam. (Wertheim, 1975: 80).
Kasus permusuhan lainnya adalah karena dituduh terlibat dalam pemberontakan
PRRI/Permesta, pada tanggal 13 September 1960, Soekarno membubarkan partai
politik Islam terpenting, yaitu Masyumi,
pemerintah pun mengeliminasi kekuatan politik Islam. Pada tahun 1960-an,
Soekarno mulai membatasi gerak para aktivis Islam. Deliar Noer mengatakan, “
Pada satu sisi, masyarakat menyadari bahwa pemerintah Soekarno selama Demokrasi
Terpimpin adalah tirani maka harus digulingkan. Pada sisi lain, rakyat menjadi
takut. Begitu besar kebencian orang-orang Islam ketika itu terhadap Soekarno
dan para pendukungnya.
Represi Era Soeharto
Memasuki
kurun Orde Baru, kaum muslim bersuka cita atas jatuhnya Orde Lama dan menyambut
sistem politik baru dengan harapan adanya perbaikan dalam kehidupan politik.
Akan tetapi berlawanan dengan harapan mereka, Soeharto malah membuat frustasi
kalangan Islam dengan keputusan-keputusan yang mengecewakan, seperti penolakan
terhadap rehabilitasi Masyumi pada tahun 1968. Lalu pemerintah juga mengundang
kemarahan kalangan Islam ketika mengesahkan Undang-Undang Perkawinan 1975 yang
dianggap sekuler, dan yang paling melukai perasaan umat, dibawah komando
Jenderal Beni Moerdani, rezim Soeharto membantai ratusan kaum muslim dalam
peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang hingga kini belum terungkap. Tahun 1985
pemerintah melarang penggunaan dasar Islam dalam semua partai politik dan
organisasi masa dan mewajibkan pencantuman ideologi negara, yaitu Asas Tunggal Pancasila.
Watak otoriter kekuasaan rezim Soeharto ternyata melebihi otoritarianismenya
Soekarno, Soeharto sangat kuat dalam posisinya. Soeharto membangun kekuasaannya
melalui tiga jalur ampuh, yaitu militer, birokrasi, dan Golongan Karya. Melalui
militer, dia mempertahankan doktrin dwifungsi ABRI, yaitu militer memiliki
peranan yang legitimate dalam kehidupan politik.
Golkar
adalah partai politik pemerintah yang menjadi mayoritas penguasa selama hampir
tiga dekade dan terus menerus memenangkan pemilu sebagai bukti kekuatan politik
Soeharto. Selama Orde Baru, birokrasi sangat berkuasa dan mendominasi
pemerintah. Dalam situasi ketika
kelompok Islam disudutkan sebagai mengancam Pancasila, umat Islam sangat
menderita dengan kehadiran lembaga Kopkamtib. Semua tekanan politik ini telah
menyudutkan kalangan Islam dan memberikan kesadaran bahwa mereka pada kenyataannya lemah secara
politik.
Lemahnya
kekuasaan umat Islam Indonesia ketika itu, sesungguhnya tidak hanya secara
politik tidak mampu berperan, tetapi karena realitas umat seperti itu adalah
“akibat” bukan “penyebab”. Hal ini
sangat dirasakan pada tahun-tahun pertama Orde Baru ketika pemerintah
menjalankan kebijakan politik modernisasi. Sejak periode awal Orde Baru sampai
tahun 1970-an, kalangan Islam tidak mampu menyediakan sumber-sumber daya
manusia unggulan yang dibutuhkan oleh negara yang baru merdeka. Selama beberapa
dekade hingga tahun 1970-an, para aktivis dan tokoh-tokoh Islam yang
merepresentasikan aspirasi Islam mayoritas tetap tidak berperan, terkucilkan,
dan terpinggirkan.
Awal Perubahan
Ketika
memasuki tahun 1980-an, kondisi mulai berubah. Perubahan-perubahan penting
terjadi dalam masyarakat Islam sejak itu. Dalam bidang politik, tahun 1985
pemerintah Orde Baru menerapkan program Asas Tunggal untuk menghapuskan
“ideologi primordial” dari partai-partai politik dan organisasi massa, kemudian
menghasilkan proses yang disebut “deideologisasi” dan “depolitisasi” dalam
masyarakat. Akibatnya justru sebaliknya dan mamuluskan jalan Islam menuju
perbaikan diri dari orientasi. Tahun 1980-an, kalangan Islam mulai meninggalkan
orientasi politik ideologis. Deideologisasi dan depolitisasi mendorong umat
Islam meninggalkan medan politik formal dan bergerak mereorientasikan dirinya
pada ranah yang lebih luas dan kondusif bagi pengembangan Islam yaitu gerakan
kultural, yang meliputi pendidikan dan dakwah. Dakwah Islam berkembang luas
tanpa muatan politik dan ideologis. Hasilnya, perilaku politik pemerintah pun
mulai ramah terhadap kalangan Islam. Sejak tahun 1980-an, Islam Indonesia
adalah Islam kultural. Perubahan orientasi ini ditunjang oleh pembangunan
ekonomi dan perkembangan pendidikan umat yang melahirkan generasi baru Islam.
Dampaknya yaitu munculnya hubungan yang lebih baik dan fungsional antara
komunitas Islam dan pemerintah sejak akhir tahun 1980-an.
A. Komentar/Pandangan
Ketika
zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara Islam sangat berpengaruh terhadap politik
kerajaan, tetapi ketika kemerdekaan posisi politik Islam malah terbalik malahan
kelompok Islam selalu termarginalisasikan secara politik dan belum pernah
berperan menjadi kekuatan yang signifikan. Kelompok islam nyaris tak berkutik
dibawah penindasan rezim Soekarno dan Soeharto. Politik Islam sering tidak
diberlakukan oleh pemerintah dan Pemerintah menganggap bahwa Islam merupakan
ancaman bagi kekuasaanya padahal Islam sangat berperan penting dalam
memerdekakan negara.
sebab
permusuhan yang terjadi antara Islam dengan negara, salah satunya karena Islam
mempunyai aspirasi dan imajinasi politik sendiri, sehingga Islam tidak bisa
menerima kontrol kekuasaan negara sekuler, terutama bila kekuasaan itu tidak
akomodatif terhadap aspirasi politik Islam. Itu karena negara tidak bisa menerima
politik Islam malah menganggapnya sebagai sebuah ancaman, karena Islam
memandang bahwa keputusan negara sekuler itu tidak sesuai dengan Islam.
Pandangan Raja-raja Jawa terhadap komunitas Islam pun yaitu sebagai ancaman
kekuasaan dan kepentingan mereka, begitupun dengan Soeharto yang menilai Islam
sebagai ancaman bagi kekuasaanya sehingga Soeharto tidak menyukai Islam.
Padahal Islam ingin mensejahterakan negara dengan politik Islam sehingga dapat
memberlakukan syari’at Islam.
Pada era
Soekarno permusuhan negara dengan Islam pun terjadi, bisa dilihat pada
penolakan Piagam Djakarta 22 Juni 1945 yang berisi klausul: “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lalu dengan
membubarkannya Masyumi (partai politik Islam terpenting) karena Soekarno
menuduh Islam sebagai pemberontak terhadap PRRI/Permesta.
Pada era
Soeharto, Islam sangat bersuka cita atas jatuhnya Orde Lama dan menyambut sistem politik baru dengan harapan
adanya perbaikan dalam kehidupan politik, namun Soeharto malah membuat
keputusan-keputusan yang mengecewakan. Diantaranya, ketika mengesahkan
Undang-Undang Perkawinan 1975 yang dianggap sekuler, apalagi ketika rezim
Soeharto membantai ratusan kaum muslim dalam peristiwa Tanjung Priok 1984. Soeharto sangat kuat di posisinya apalagi
dengan membangun kekuasaannya melalui tiga jalur ampuh, yaitu militer,
birokrasi, dan Golongan Karya. Golkar adalah partai politik pemerintah yang
menjadi mayoritas penguasa selama hampir tiga dekade dan terus menerus
memenangkan pemilu sebagai bukti kekuatan politik Soeharto. Selama Orde Baru,
birokrasi sangat berkuasa dan mendominasi pemerintah.
Ketika itu
kekuasaan umat Islam di Indonesia lemah, Sejak periode awal Orde Baru sampai
tahun 1970-an, kalangan Islam tidak mampu menyediakan sumber-sumber daya
manusia unggulan yang dibutuhkan oleh negara yang baru merdeka. Kenyataanya
Islam lemah secara politik, padahal mayoritas dalam jumlah tapi minoritas dalam
kualitas.
Pada awal
tahun 1980-an Islam mulai meninggalkan orientasi politik ideologis dan mengembangkan
pendidikan dan dakwah. Sehingga pemerintah pun menjadi ramah terhadap kalangan
Islam. Sejak tahun 1980-an, Islam Indonesia adalah Islam kultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar