Jumat, 16 November 2012

Islam dan Politik Masa Orde Baru




Sejak zaman kerajaan Islam hingga zaman kolonial, selain sebagai agama populis, Islam tidak pernah terpisahkan dari fenomena istana.  Kekuasaan politik sejak masuknya pengaruh Islam ke Nusantara bercirikan keagamaan yang kuat. Akan tetapi, kontras dengan fenomena yang ditunjukkan oleh kesultanan-kesultanan Islam itu, sejak masa kemerdekaan tahun 1945, politik Islam Indonesia justru berada dalam posisi yang terbalik. Puncaknya adalah pada masa pertengahan pertama panggung kekuasaan Orde Baru, umat Islam adalah kelompok yang selalu termarginalisasikan secara politik. Selama 45 tahun setelah kemerdekaan, kelompok Islam belum pernah berperan menjadi kekuatan yang signifikan. Hal yang menyedihkan, akibat sekian lama terpinggirkan, perilaku dan mentalitas kelompok Islam menjadi tipikal kelompok minoritas (Wertheim 1975; Schwartz 1997). Kelompok Islam nyaris tak berkutik di bawah penindasan rezim Soekarno dan Soeharto.
Sebab Permusuhan
Salah satu penyebab permusuhan adalah hubungan Islam dengan negara sekuler yang tidak pernah mesra. Hal ini disebabkan karakter Islam sebagai kekuatan din wa daulah (agama dan politik), yang memiliki aspirasi dan imajinasi politik sendiri. Karakter ini membuat Islam tidak bisa menerima kontrol kekuasaan negara sekuler atas dirinya, terutama bila kekuasaan itu tidak akomodatif terhadap aspirasi politik Islam. Konflik ini selalu terbit yang menunjukkan tak bisa dipisahkannya Islam dengan kekuasaan. Islam dan negara hanya akan berhenti konflik apabila Islam telah menjadi bagian dari pengelola negara. Raja-raja Jawa melihat komunitas Islam sebagai kekuatan sipil yang mengancam kekuasaan dan kepentingan mereka.  Selama kurun Orde Baru, Soeharto melihat Islam tidak lebih sama dengan penguasa-penguasa sebelumnya yang melihat agama sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Dari nilai leluhur yang dianutnya ini, Hefner menyimpulkan bahwa Soeharto selama kekuasaanya, pada dasarnya tidak menyukai Islam.
Represi Era Soekarno
Sikap permusuhan negara terhadap Islam bisa dilacak dan diidentifikasi sejak awal kemerdekaan di bawah Presiden Soekarno hingga era kekuasaan Soeharto. Hal yang pertama adalah penolakan Piagam Djakarta 22 Juni 1945 yang berisi klausul: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam penolakan ini, konsep Presiden Soekarno tentang Pancasila, walaupun tahu bahwa agama adalah pilar penting masyarakat, menolak posisi penting Islam dalam struktur negara, sebagai telah diperjuangkan oleh kelompok Islam. (Wertheim, 1975: 80). Kasus permusuhan lainnya adalah karena dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, pada tanggal 13 September 1960, Soekarno membubarkan partai politik Islam terpenting, yaitu Masyumi,  pemerintah pun mengeliminasi kekuatan politik Islam. Pada tahun 1960-an, Soekarno mulai membatasi gerak para aktivis Islam. Deliar Noer mengatakan, “ Pada satu sisi, masyarakat menyadari bahwa pemerintah Soekarno selama Demokrasi Terpimpin adalah tirani maka harus digulingkan. Pada sisi lain, rakyat menjadi takut. Begitu besar kebencian orang-orang Islam ketika itu terhadap Soekarno dan para pendukungnya.
Represi Era Soeharto
Memasuki kurun Orde Baru, kaum muslim bersuka cita atas jatuhnya Orde Lama dan menyambut sistem politik baru dengan harapan adanya perbaikan dalam kehidupan politik. Akan tetapi berlawanan dengan harapan mereka, Soeharto malah membuat frustasi kalangan Islam dengan keputusan-keputusan yang mengecewakan, seperti penolakan terhadap rehabilitasi Masyumi pada tahun 1968. Lalu pemerintah juga mengundang kemarahan kalangan Islam ketika mengesahkan Undang-Undang Perkawinan 1975 yang dianggap sekuler, dan yang paling melukai perasaan umat, dibawah komando Jenderal Beni Moerdani, rezim Soeharto membantai ratusan kaum muslim dalam peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang hingga kini belum terungkap. Tahun 1985 pemerintah melarang penggunaan dasar Islam dalam semua partai politik dan organisasi masa dan mewajibkan pencantuman ideologi negara, yaitu Asas Tunggal Pancasila. Watak otoriter kekuasaan rezim Soeharto ternyata melebihi otoritarianismenya Soekarno, Soeharto sangat kuat dalam posisinya. Soeharto membangun kekuasaannya melalui tiga jalur ampuh, yaitu militer, birokrasi, dan Golongan Karya. Melalui militer, dia mempertahankan doktrin dwifungsi ABRI, yaitu militer memiliki peranan yang legitimate dalam kehidupan politik.
Golkar adalah partai politik pemerintah yang menjadi mayoritas penguasa selama hampir tiga dekade dan terus menerus memenangkan pemilu sebagai bukti kekuatan politik Soeharto. Selama Orde Baru, birokrasi sangat berkuasa dan mendominasi pemerintah.  Dalam situasi ketika kelompok Islam disudutkan sebagai mengancam Pancasila, umat Islam sangat menderita dengan kehadiran lembaga Kopkamtib. Semua tekanan politik ini telah menyudutkan kalangan Islam dan memberikan kesadaran bahwa  mereka pada kenyataannya lemah secara politik.
Lemahnya kekuasaan umat Islam Indonesia ketika itu, sesungguhnya tidak hanya secara politik tidak mampu berperan, tetapi karena realitas umat seperti itu adalah “akibat” bukan “penyebab”.  Hal ini sangat dirasakan pada tahun-tahun pertama Orde Baru ketika pemerintah menjalankan kebijakan politik modernisasi. Sejak periode awal Orde Baru sampai tahun 1970-an, kalangan Islam tidak mampu menyediakan sumber-sumber daya manusia unggulan yang dibutuhkan oleh negara yang baru merdeka. Selama beberapa dekade hingga tahun 1970-an, para aktivis dan tokoh-tokoh Islam yang merepresentasikan aspirasi Islam mayoritas tetap tidak berperan, terkucilkan, dan terpinggirkan.
Awal Perubahan
Ketika memasuki tahun 1980-an, kondisi mulai berubah. Perubahan-perubahan penting terjadi dalam masyarakat Islam sejak itu. Dalam bidang politik, tahun 1985 pemerintah Orde Baru menerapkan program Asas Tunggal untuk menghapuskan “ideologi primordial” dari partai-partai politik dan organisasi massa, kemudian menghasilkan proses yang disebut “deideologisasi” dan “depolitisasi” dalam masyarakat. Akibatnya justru sebaliknya dan mamuluskan jalan Islam menuju perbaikan diri dari orientasi. Tahun 1980-an, kalangan Islam mulai meninggalkan orientasi politik ideologis. Deideologisasi dan depolitisasi mendorong umat Islam meninggalkan medan politik formal dan bergerak mereorientasikan dirinya pada ranah yang lebih luas dan kondusif bagi pengembangan Islam yaitu gerakan kultural, yang meliputi pendidikan dan dakwah. Dakwah Islam berkembang luas tanpa muatan politik dan ideologis. Hasilnya, perilaku politik pemerintah pun mulai ramah terhadap kalangan Islam. Sejak tahun 1980-an, Islam Indonesia adalah Islam kultural. Perubahan orientasi ini ditunjang oleh pembangunan ekonomi dan perkembangan pendidikan umat yang melahirkan generasi baru Islam. Dampaknya yaitu munculnya hubungan yang lebih baik dan fungsional antara komunitas Islam dan pemerintah sejak akhir tahun 1980-an.
A.      Komentar/Pandangan
Ketika zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara Islam sangat berpengaruh terhadap politik kerajaan, tetapi ketika kemerdekaan posisi politik Islam malah terbalik malahan kelompok Islam selalu termarginalisasikan secara politik dan belum pernah berperan menjadi kekuatan yang signifikan. Kelompok islam nyaris tak berkutik dibawah penindasan rezim Soekarno dan Soeharto. Politik Islam sering tidak diberlakukan oleh pemerintah dan Pemerintah menganggap bahwa Islam merupakan ancaman bagi kekuasaanya padahal Islam sangat berperan penting dalam memerdekakan negara.
sebab permusuhan yang terjadi antara Islam dengan negara, salah satunya karena Islam mempunyai aspirasi dan imajinasi politik sendiri, sehingga Islam tidak bisa menerima kontrol kekuasaan negara sekuler, terutama bila kekuasaan itu tidak akomodatif terhadap aspirasi politik Islam. Itu karena negara tidak bisa menerima politik Islam malah menganggapnya sebagai sebuah ancaman, karena Islam memandang bahwa keputusan negara sekuler itu tidak sesuai dengan Islam. Pandangan Raja-raja Jawa terhadap komunitas Islam pun yaitu sebagai ancaman kekuasaan dan kepentingan mereka, begitupun dengan Soeharto yang menilai Islam sebagai ancaman bagi kekuasaanya sehingga Soeharto tidak menyukai Islam. Padahal Islam ingin mensejahterakan negara dengan politik Islam sehingga dapat memberlakukan syari’at Islam.
Pada era Soekarno permusuhan negara dengan Islam pun terjadi, bisa dilihat pada penolakan Piagam Djakarta 22 Juni 1945 yang berisi klausul: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lalu dengan membubarkannya Masyumi (partai politik Islam terpenting) karena Soekarno menuduh Islam sebagai pemberontak terhadap PRRI/Permesta.
Pada era Soeharto, Islam sangat bersuka cita atas jatuhnya Orde Lama dan  menyambut sistem politik baru dengan harapan adanya perbaikan dalam kehidupan politik, namun Soeharto malah membuat keputusan-keputusan yang mengecewakan. Diantaranya, ketika mengesahkan Undang-Undang Perkawinan 1975 yang dianggap sekuler, apalagi ketika rezim Soeharto membantai ratusan kaum muslim dalam peristiwa Tanjung Priok 1984.  Soeharto sangat kuat di posisinya apalagi dengan membangun kekuasaannya melalui tiga jalur ampuh, yaitu militer, birokrasi, dan Golongan Karya. Golkar adalah partai politik pemerintah yang menjadi mayoritas penguasa selama hampir tiga dekade dan terus menerus memenangkan pemilu sebagai bukti kekuatan politik Soeharto. Selama Orde Baru, birokrasi sangat berkuasa dan mendominasi pemerintah.
Ketika itu kekuasaan umat Islam di Indonesia lemah, Sejak periode awal Orde Baru sampai tahun 1970-an, kalangan Islam tidak mampu menyediakan sumber-sumber daya manusia unggulan yang dibutuhkan oleh negara yang baru merdeka. Kenyataanya Islam lemah secara politik, padahal mayoritas dalam jumlah tapi minoritas dalam kualitas.
Pada awal tahun 1980-an Islam mulai meninggalkan orientasi  politik ideologis dan mengembangkan pendidikan dan dakwah. Sehingga pemerintah pun menjadi ramah terhadap kalangan Islam. Sejak tahun 1980-an, Islam Indonesia adalah Islam kultural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar